Lulus dari kampus, pantang menganggur. Itulah prinsip yang saya pegang sampai saat ini. Jadilah sebelum lulus saya keranjingan apply beasiswa sana sini karena memang pengin kuliah lagi. Tapi apa daya, belum berjodoh. Beralihlah saya kebingungan cari aktivitas, mulai dari masak-masak di rumah, apply kerja, dan apply event-event yang menurut saya bakalan bermanfaat banyak.
Siang itu, ketika mengobrol dengan mbak Qon di kosan, sebuah broadcast di grup alumni tentang Program Khusus Ramadhan (PKR) di pondok pesantren Al Munawwir menarik perhatian saya.
Secepat kilat saya mengirim pesan itu kepada emak saya di rumah terkait hal itu. Tak disangka emak saya justru menyarankan saya untuk ikut program tersebut.
Sebenarnya dari tiga bersaudara, saya lah yang paling ndugal alias ndak kenal pondok sama sekali. Bapak dan emak saya punya basic pondok, pun kedua adik saya adalah santri pondok. Mungkin itu sebabnya bapak dan emak saya sangat merestui untuk ikut program PKR, biar saya lebih kenal dengan agama yang saya anut plus menjauhkan saya dari drama-drama korea yang hampir setiap hari saya pantengi kalau sedang di rumah.
Program Khusus Ramadhan (PKR) di ponpes Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta berlangsung dari tanggal 1-20 ramadhan. Jadilah saya berangkat di tanggal 1 ramadhan dengan mengendarai motor dari rumah. Satu koper, satu ransel, dan satu tas slempang mungil menampung semua barang-barang saya. Rasanya seperti mau mudik saja. Hihihi...
Ada kurang lebih 70 santri PKR yang mondok, termasuk santri yang ngalong (tidak mukim di pondok). Awalnya sedikit minder di pondok, sebab teman-teman saya rata-rata memang anak pondokan yang lagi liburan (beberapa dari mereka bahkan putra-putri kyai atau yang biasa disebut dengan istilah gus-ning). Hanya beberapa saja yang benar-benar awam macam saya ini. Belum lagi dengan rutinitas baru yang harus saya jalani sebagai santri pondok beserta adab-adab nya. Benar-benar butuh adaptasi secepat kilat.
Aktivitas di pondok jelas sangat berbeda dengan aktivitas di rumah ataupun di kos. Semua harus serba tertib, antri, dan tentu saja mandiri. Pukul tiga pagi, para santri PKR mulai bangun, solat malam, dilanjutkan makan sahur. Ketika adzan subuh berkumandang, para santri bergerombol berangkat ke masjid sembari membawa kitab karena setelah solat subuh langsung ada ngaji kitab di masjid hingga sekitar setegah enam pagi. Pulang dari masjid lanjut ngaji Quran secara sorogan dengan ustadzah di mushola lantai bawah. Oh iya, kami santri putri mabit di mushola lantai atas. Jangan bayangkan ada dipan untuk kami tidur, tapi cukup dengan karpet dan bantal. Mantap!
Lepas mengaji Quran, kami diperbolehkan istirahat. Aktivitas ngaji kitab dimulai pukul delapan pagi hingga sebelas siang. FYI, di program PKR ini ada banyak kitab yang bebas dipilih oleh santri. Saya pribadi mengambil tujuh kitab, alias ada tujuh kelas yang wajib saya ikuti setiap hari. Saya juga baru tahu kalau kitab kuning itu benar-benar kertasnya warna kuning seperti buku-buku lawas. Isinya arab gundul semua mulai dari cover sampai halaman terakhir.
Rasanya pertama kali ngaji kitab sungguh istimewa. Bagaimana tidak, modelnya bandongan. Saya celingukan liat samping kanan kiri, semuanya sudah lancar ngabsahi pakai arab pegon. Saya? jelas pakai tulisan biasa. Huruf abc. Bahasa pengantarnya bahasa jawa, ada campuran krama dan ngoko. Saya yang 100% polos asli kaget dengan metode ini, ditambah lagi dengan banyak istilah yang tidak saya mengerti selama pembelajaran. Bersyukur teman-teman PKR yang sudah terbiasa mondok mau membantu dan menjelaskan jika ada yang tidak saya mengerti.
Oke lanjut, saya ngaji kitab dari jam delapan hingga sebelas siang. Setelah itu free time hingga asar. Artinya di jam-jam tersebut kita dapat melakukan aktivitas harian misalnya mencuci, tidur, membaca buku, atau bahkan bisa buat nderes Quran. Selesai solat asar, para santri PKR kembali ngaji kitab hingga pukul lima sore. Jeda setengah jam sebelum berbuka puasa biasa kami manfaatkan untuk berburu takjil yang berjajar di sepanjang jalan KH. Ali Maksum. Daerah ini memang kompleks pondok, jadi wajar saja kalau jalan KH. Ali Maksum bisa macet berat karena santri numplek dijalan itu sampai mirip cendol karena uyel-uyelan. Hihihi....
Adzan Maghrib terasa sangat merdu, menandakan kami semua boleh berbuka. Kami biasa duduk melingkar dengan teman-teman dan menyantap makanan kami bersama-sama. Rasanya sungguh nikmat. Serius. Tak bisa berlama-lama, kami harus segera salat maghrib dilanjutkan ngaji Quran dengan ustadzah hingga adzan isya. Jika sudah masuk waktu isya, kami berangkat ke masjid untuk salat isya, tarawih, dan witir. Perlu kalian ketahui kalau di masjid pondok, tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat. Bacaan setiap kali tarawih yaitu sekitar 1,5 juz sehingga di malam ke 20 sudah khatam 30 juz. Selanjutnya setelah khatam, di malam 21 bacaan setiap kali tarawih yaitu sekitar 3 juz. Bisa dibayangkan? :)
Di masjid pondok, tidak ada kultum seperti di masjid-masjid pada umumnya sebab mulai pukul sembilan malam, kami sudah harus ngaji kitab hingga pukul sebelas malam. Rata-rata kami baru bisa tidur pukul duabelas malam.
Begitulah rutinitas kami sebagai santri PKR di pondok. Mungkin terlihat berat, tapi sebenarnya jika dijalani semuanya dengan santai, ikhlas, sabar, semuanya pasti terasa ringan. Bagi saya ini pengalaman yang sungguh unik dan sangat membekas. Alhamdulillah... :)
Siang itu, ketika mengobrol dengan mbak Qon di kosan, sebuah broadcast di grup alumni tentang Program Khusus Ramadhan (PKR) di pondok pesantren Al Munawwir menarik perhatian saya.
Santri PKR putri di depan masjid pondok |
Sebenarnya dari tiga bersaudara, saya lah yang paling ndugal alias ndak kenal pondok sama sekali. Bapak dan emak saya punya basic pondok, pun kedua adik saya adalah santri pondok. Mungkin itu sebabnya bapak dan emak saya sangat merestui untuk ikut program PKR, biar saya lebih kenal dengan agama yang saya anut plus menjauhkan saya dari drama-drama korea yang hampir setiap hari saya pantengi kalau sedang di rumah.
Program Khusus Ramadhan (PKR) di ponpes Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta berlangsung dari tanggal 1-20 ramadhan. Jadilah saya berangkat di tanggal 1 ramadhan dengan mengendarai motor dari rumah. Satu koper, satu ransel, dan satu tas slempang mungil menampung semua barang-barang saya. Rasanya seperti mau mudik saja. Hihihi...
Ada kurang lebih 70 santri PKR yang mondok, termasuk santri yang ngalong (tidak mukim di pondok). Awalnya sedikit minder di pondok, sebab teman-teman saya rata-rata memang anak pondokan yang lagi liburan (beberapa dari mereka bahkan putra-putri kyai atau yang biasa disebut dengan istilah gus-ning). Hanya beberapa saja yang benar-benar awam macam saya ini. Belum lagi dengan rutinitas baru yang harus saya jalani sebagai santri pondok beserta adab-adab nya. Benar-benar butuh adaptasi secepat kilat.
Aktivitas di pondok jelas sangat berbeda dengan aktivitas di rumah ataupun di kos. Semua harus serba tertib, antri, dan tentu saja mandiri. Pukul tiga pagi, para santri PKR mulai bangun, solat malam, dilanjutkan makan sahur. Ketika adzan subuh berkumandang, para santri bergerombol berangkat ke masjid sembari membawa kitab karena setelah solat subuh langsung ada ngaji kitab di masjid hingga sekitar setegah enam pagi. Pulang dari masjid lanjut ngaji Quran secara sorogan dengan ustadzah di mushola lantai bawah. Oh iya, kami santri putri mabit di mushola lantai atas. Jangan bayangkan ada dipan untuk kami tidur, tapi cukup dengan karpet dan bantal. Mantap!
Di depan salah satu toko di Jl. KH Ali Maksum |
Rasanya pertama kali ngaji kitab sungguh istimewa. Bagaimana tidak, modelnya bandongan. Saya celingukan liat samping kanan kiri, semuanya sudah lancar ngabsahi pakai arab pegon. Saya? jelas pakai tulisan biasa. Huruf abc. Bahasa pengantarnya bahasa jawa, ada campuran krama dan ngoko. Saya yang 100% polos asli kaget dengan metode ini, ditambah lagi dengan banyak istilah yang tidak saya mengerti selama pembelajaran. Bersyukur teman-teman PKR yang sudah terbiasa mondok mau membantu dan menjelaskan jika ada yang tidak saya mengerti.
Oke lanjut, saya ngaji kitab dari jam delapan hingga sebelas siang. Setelah itu free time hingga asar. Artinya di jam-jam tersebut kita dapat melakukan aktivitas harian misalnya mencuci, tidur, membaca buku, atau bahkan bisa buat nderes Quran. Selesai solat asar, para santri PKR kembali ngaji kitab hingga pukul lima sore. Jeda setengah jam sebelum berbuka puasa biasa kami manfaatkan untuk berburu takjil yang berjajar di sepanjang jalan KH. Ali Maksum. Daerah ini memang kompleks pondok, jadi wajar saja kalau jalan KH. Ali Maksum bisa macet berat karena santri numplek dijalan itu sampai mirip cendol karena uyel-uyelan. Hihihi....
Narsis di kelas sebelum ngaji :) |
Di masjid pondok, tidak ada kultum seperti di masjid-masjid pada umumnya sebab mulai pukul sembilan malam, kami sudah harus ngaji kitab hingga pukul sebelas malam. Rata-rata kami baru bisa tidur pukul duabelas malam.
Begitulah rutinitas kami sebagai santri PKR di pondok. Mungkin terlihat berat, tapi sebenarnya jika dijalani semuanya dengan santai, ikhlas, sabar, semuanya pasti terasa ringan. Bagi saya ini pengalaman yang sungguh unik dan sangat membekas. Alhamdulillah... :)
Komentar
Posting Komentar