Hai semua!
Kali ini saya mau berbagi uneg-uneg yang udah kupendem beberapa hari belakangan tentang bagaimana saya mencari apa yang sebenarnya saya mau, saya impikan.
Flashback ke jaman SMP. Waktu itu kalau ditanya mimpi kamu apa, jawabnya biasanya sih guru. Memang, saya punya background keluarga guru juga. Kakek, nenek, dan ibuku adalah seorang guru. Saat kelas 3 SMP saya dan teman-teman dari kelas 9 A sering diminta untuk tutor sebaya ke kelas-kelas yang lain. Jujur saya sangat menikmatinya. Seru bisa berbagi ilmu dengan teman-teman.
Lanjut ke SMA, saya punya teman dari kalangan yang lebih luas. SMA 3 Surakarta (smaga) adalah tempat saya menimba ilmu dari tahun 2009-2012. Berbekal nekat dan numpang tinggal di rumah saudara, saya yang notabene seorang anak dusun, ngotot mau lanjut SMA di kota. Culture shock sudah jadi isu yang pasti saya alami. Dan memang benar saya tergolong siswa yang 'biasa banget', 'cupu', dan 'nggak eksis'. Kelas 3 kala itu jadi penentu mau lanjut kemana dan jurusan apa. Jurusan pendidikan dokter dan teknik sangat ngetren di kalangan anak Smaga tentunya. Sayapun terbawa tren itu. Sempat berfikir mau ke teknik fisika di ITS surabaya. Tapi apa daya, pilihan itu jelas di tolak mentah-mentah oleh orang tua. Akhirnya saya mati-matian mengusulkan pilihan pertama SNMPTN di pendidikan dokter UNS. Sempat drama perdebatan sengit dengan orang tua, akhirnya saya luluh. Saya menuruti orang tua untuk memasukkan jurusan pendidikan di pilihan kedua. Pendidikan fisika jadi pilihan terbaik. Iya, Fisika. Saya tahu itu sulit, tapi tak ada pilihan lain karena saya benci Kimia, tak pandai Biologi, tapi bosan dengan Matematika.
Alhamdulillah, saya diterima SNMPTN jalur undangan di pendidikan fisika. Saya angkatan tahun 2012. Setengah bahagia karena keterima dan setengah sedih karena gagal di pendidikan dokter. Akhirnya, kuliah saya jalani. Rata-rata nilai saya A di mata kuliah 'pendidikan', sementara di mata kuliah 'fisika' tak terlalu bagus. Kegiatan saya sehari-hari kala itu adalah kuliah di pagi hari, aktif di organisasi keilmiahan di sore hari, dan menjadi tutor di malam hari. Dari semester 1-9 (kecuali di semester 3), saya aktif menjadi tutor bagi anak SMP dan SMA. Rasanya saya jarang fokus belajar, hingga akibatnya IPK saya nggak bagus-bagus amat dan nggak cumlaude tentunya.
Semester 7, mungkin jadi titik dimana saya menemukan dunia lain yang menyenangkan. Saat itu saya harus menyelesaikan dua tugas akhir pra skripsi, yaitu seminar fisika dan eksperimen fisika. Saya memperoleh supervisor yang kebetulan backgroundnya fisika murni. Pas sekali waktu itu supervisor saya memiliki projek penelitian dari dana hibah. Jadilah saya tak perlu cari ide dari nol untuk tugas akhir saya. Saya terjun ke tema riset yang sangat-sangat baru bagi saya kala itu, yaitu monitoring baterai lithium iron phosphate untuk lampu jalan dengan sel surya sebagai sumber energinya. Hahaha, kompleks bukan? Iya, sangat. Saat itulah saya mulai belajar sensor, rangkaian elektronik, hingga sedikit pemrograman. Mirip anak elektro ya? Hehehe... Sehari-hari saya habiskan di bengkel fisika. Tekanan dari supervisor saya memang tak jarang membuat saya lelah, stress, dan ingin menangis. Kami satu tim beranggotakan 5 orang, tapi 4 orang lainnya memilih pindah supervisor. Jadilah saya sendirian. Alhasil, apapun problemanya, mostly didiskusikan langsung dengan supervisor, ya meski terkadang saya tanya ke siapapun, entah adik tingkat, kakak tingkat, teman dari lain jurusan, bahkan researchgate.net jadi platform favorit saya. Oke, intinya waktu itu jadi waktu yang berat. Tapi tanpa disadari, saya menemukan hal baru yang saya sukai, saya mencintai dunia riset. Waktu terberat itu ternyata telah mengasah skill riset saya.
Setahun saya menyelesaikan projek bersama supervisor saya, akhirnya semester 9 barulah saya mulai skripsi. Iya, saya terlambat lulus. Saya sadar, saya harus segera selesai S1. Skripsi mahasiswa pendidikan mengharuskan saya kembali terjun ke sekolah. Pertama kali kembali ke sekolah tempat saya kerja praktik kala itu membuat saya benar-benar takut. Bahkan saya meminta seorang teman untuk menemani ke sekolah itu untuk bertemu siswa-siswa yang ada di sana dan meminta izin ke guru fisika yang menjadi pembimbing saat kerja praktik. Saya harus tahan rasa takut dan ketidakpercayaan diri itu, demi skripsi. Lambat laun keberanian dan kepercayaan diri sebagai guru tumbuh lagi dan saya bisa menyelesaikan skripsi dengan baik. Ya meskipun penuh drama yang menguras air mata dengan supervisor yang berbeda dari sebelumnya, akhirnya 400-an halaman naskah skripsi bisa dipertahankan hingga sidang.
April 2017, ijazah berada di tangan. Mulailah saya daftar-daftar lowongan kerja via online dan offline. Sesuai dengan ijazah, maka peluangnya adalah kerja di sekolah, bank, atau perusahaan swasta. Saya coba daftar di bimbel, salah satu sekolah swasta di jogja, dan juga perusahaan penerbitan di area solo-jogja. Tak ada panggilan dari sekolah, yang ada justru dari bimbel dan perusahaan penerbitan. Setelah proses abcd akhirnya pilihan berlabuh di perusahaan penerbitan. Saya bekerja sebagai editor fisika di Jogja selama kurang lebih 8 bulan sembari jatuh bangun mencari beasiswa lanjut kuliah. Beruntung, pekerjaan sebagai editor membuat saya betah untuk duduk lama di depan komputer, membaca, dan melatih skill editing (jangan bandingkan tulisan saya yg di blog ini yang amburadul ya, karena ini sifatnya seperti diary yang santai). Jam kerja yang oke membuat saya masih punya waktu untuk belajar bahasa inggris dan browsing beasiswa di malam hari ataupun pagi hari sebelum kerja.
Lambat laun kepastian itu datang. Alhamdulillah beasiswa lanjut sekolah ada ditangan. Akhir Februari 2018 saya resign dari kantor dan lima hari setelahnya saya berangkat ke Korea. Kini saya melanjutkan kuliah di departemen IT convergence engineering yang bekerja sama dengan departemen Applied Chemistry. Bahagia, akhirnya bisa masuk ke engineering setelah dulu pupus sewaktu SMA. Selain menjadi mahasiswa pascasarjana, saya juga menjadi full time researcher di Energy electrochemistry laboratory. Ribet ya namanya? Hehehe... Intinya sehari-hari saya bekerja di lab dari jam 9 pagi hingga undefinite time. Kenapa undefinite time? yang kuliah di korea pasti tau sebabnya. Tapi dengan segala drama-dramanya, overall saya menikmatinya. Saya suka dengan apa yang saya kerjakan sekarang, apalagi dengan jas lab putih yang biasa saya kenakan. Rasanya mirip dokter. Hahahaha... ah, jadi ingat impian dokter sewaktu SMA.
Tapi, disatu sisi, rasanya ada yang kurang. Aktivitas keseharian saya membuat saya banyak diam. Karena saat ini saya sedang handle projek sendiri jadi hanya supervisor yang jadi teman diskusi (hahaha, mirip zaman tugas akhir waktu S1). Dititik inilah terkadang saya kangen dengan berbagi ilmu. Kangen rasanya terjun ke dunia pendidikan. Entahlah, mungkin lama ngga jadi tutor lagi. Hahaha... Banyak yang bilang, "jadi dosen aja kalau gitu". But heiiiii...tak sesimpel itu. Saya juga belum siap kalau harus terjun langsung jadi dosen setelah lulus nanti. Berdiri di depan kelas, di hadapan puluhan atau ratusan mahasiswa yang kritis tepat setelah lulus pascasarjana, rasanya agak menakutkan. Tapi saya yakin, semua butuh proses. Apapun yang kita lakukan, semua butuh adaptasi. Asal mau belajar, rasanya hal yang sulitpun lambat laun jadi mudah. Oh ya, saya pribadi tak mengharuskan jadi dosen kelak. Ya memang jadi dosen adalah jalan yang baik untuk berbagi ilmu, tetapi saya ingin meluaskan perspektif saya terhadap banyak pilihan. Bisa juga jadi tim RnD di salah satu perusahaan/lembaga riset/ laboratorium, lalu memberikan pelatihan atau bahkan kuliah umum di beberapa universitas. Bisa juga jadi editor di publisher jurnal ternama, sehingga lewat itu pula saya bisa berbagi pandangan kepada pada researcher yang lain. Bisa juga jadi content writer di salah satu perusahaan kimia ternama, sehingga saya bisa berbagi lewat tulisan-tulisan yang saya unggah. Banyak kan jalurnya?
Yap, saat inipun saya masih dalam perjalanan mencari mimpi saya. Saya mencintai dunia riset yang saya lakukan saat ini dan saya tidak ingin meninggalkan dunia laboratorium, tapi disatu sisi saya tau manisnya berbagi ilmu dengan orang lain. Why? Because when you share something then you will get positive energy from the people that you share with. Dunia pendidikan yang saya pernah belajar secara formal, rasanya cukup memberi dampak juga pada pandangan saya saat ini. Saya berharap semoga ada jalan kedepannya. Yang terpenting adalah jangan sampai kita tak mau bermimpi lagi, karena dengan mimpi-mimpi itulah kita mau berjuang dalam hidup. Iya kan?
Komentar
Posting Komentar