Ini pagi pertamaku di Dusun Lengkong, sebuah dusun mungil
di lereng Argopuro. Tanah nan subur, air melimpah, dan warna hijau sepanjang
mata memandang. Inilah salah satu anugerah Yang Kuasa dan patut untuk
disyukuri. Udara bersih nan sejuk, tapi lembab khas pegunungan. Aroma daun-daun
basah karena embun semalam merasuk ke raga, menyelimuti setiap helai saraf
dengan kedamaian.
Aku dan mbak Mira mulai menyalurkan hasrat bolang kami.
Sebenarnya kami tak tau arah jalan ini. Posisi kami yang berada di tengah kampung
membuat kami penasaran untuk menjelajah sampai ujung kampung. Kedua kami tampaknya
memilih untuk melangkah naik gunung menyusuri bagian barat kampung, yang
berarti kami memilih jalan menanjak dari pada menurun, dengan pertimbangan
supaya tak lelah saat pulang nanti.
Sepenjang jalan yang kurang lebih lebarnya 1.25 meter,
kami tak henti-hentinya kagum dengan pemandangan di sana. Air mengalir di
sepanjang kanan kiri jalan menggambarkan betapa kayanya dusun ini akan air.
Sekitar hampir 15 menit kami berjalan, kami bertemu dengan dua orang anak
bernama Yanti dan adiknya yang sudah berpakaian seragam batik SD 4
Sucopangepok. Ku sapa mereka berdua dan mereka pun meyapa kami berdua dengan
sangat ramah. Mereka lantas mengajak kami berdua untuk ikut mereka menjemput
teman-teman yang rumahnya di ujung kampung, alias masih naik lagi.
Karena penasaran, kami mengikuti mereka dan mulai
mengakrabkan diri dengan mereka. Ternyata memang setiap pagi mereka berdua
melakukan kegiatan ini. Setiap pagi pula mereka berangkat ke sekolah dengan
kondisi belum mandi dan sarapan, tapi sudah berdandan rapi. Yanti yang notabene
masih kelas 5 SD, sudah memakai bedak dan celak mata. Mungkin ini hal yang
biasa bagi anak-anak di sana.
Di tengah perjalan kami bertemu dengan anak-anak yang lain.
Ditengah perjalanan, Yanti berlari ke pinggir sawah dan memungut beberapa buah
berwarna kuning kecoklatan. Ternyata di kiri jalan, berdiri pohon lansep nan
besar dan berbuah lebat. Akhirnya kami
pun rame-rame berburu buah lansep yang jatuh di pinggir sawah. Kutanya mereka
kenapa tak ambil saja buah yang ada di pohon. Mereka menjawab, “Jangan kak,
kalau itu buahnya udah didukunin.” Kami berdua kaget, “Hah? Didukunin?”
Terlepas dari itu, buah yang jatuhpun ternyata manis dan berukuran cukup besar
untuk ukuran lansep.
Perjalanan masih terus berlanjut sampai berakhir di rumah
salah seorang anak yang bernama Ida. Rumah Ida berada di atas, dan selanjutnya
hanya tinggal beberapa rumah saja di atas. Rumahnya terhitung bagus untuk
ukuran rumah di kampung. Satu hal yang membuat saya heran, sebagus apapun rumah
di dusun Lengkong, tetap saja bagian dapurnya terpisah dari bagian rumah utama
dan masih berlantaikan tanah dengan anyaman bambu sebagai temboknya. Selain
itu, tak ada kamar mandi di sana, kalaupun ada hanya berupa bilik dari anyaman
bambu yang tingginya kurang lebih setengah badan. Ciri khas dan keunikan bagi
dusun ini.
Kami di sambut
ramah oleh orang tua Ida. Ternyata dibelakang rumah Ida, terdapat sungai yang
jernih. Disungai itulah tempat Ida dan keluarganya serta tetangga sekitar
rumahnya melakukan aktivitas mandi, mencuci, dan buang air.
Tak lama kemudian sarapan pagi keluar. Kami dipersilakan
untuk sarapan terlebih dahulu. Sudah menjadi tradisi di daerah ini, kalau ada
tamu, pastilah disuguh dengan makan, atau minimal minum kopi atau teh ( seperti
marimas, es puter, dan sejenisnya ), dan sudah menjadi kewajiban tamu untuk tak
menolak suguhan itu. Jadilah kami berdua sarapan di rumah Ida. Sepiring nasi
hangat di temani ikan tongkol dan sayur jamur menjadi sarapan kami pagi itu.
Selesai sarapan kami berdua turun menuju sekolah. Jauh
memang, dan membuat kami ngos-ngosan. Hanya untuk pergi sekolah saja, butuh
perjuangan yang luar biasa. Aku sendiri pun mungkin tak bisa melakukannya kalau
setiap hari harus seperti ini. Ada hal
yang kembali membuatku heran, tak semua dari mereka memakai sepatu dan membawa
tas seperti anak sekolah pada umumnya. Kebanyakan dari mereka memakai sandal
jepit. Kalau ditanya kenapa tak memakai sepatu, alasannya simpel, tak punya
sepatu. Lantas kenapa tak membawa tas? Itu karena buku-buku mereka berada di
sekolah. Kalau buku mereka berada di sekolah, lantas bagaimana mereka belajar?
Satu pertanyaan yang baru kusadari setelah beberapa hari.
Lama di perjalan, kami mengobrol banyak dengan mereka dan
menggali banyak informasi dari mereka. Anak-anak dusun Lengkong yang kuat,
raihlah mimpi-mimpi kalian meski harus bersusah payah.
Gara-gara lansep berdukun, aku dan mbak Mira jadi agak parno
jika ingin memetik sesuatu. Padahal, kalau dipikir-pikir, sebenarnya itu hanya
mitos dikalangan anak-anak saja. Tujuannya agar mereka tak sembarangan memetik
buah milik orang lain, dan terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik jika
menginginkan. Untunglah, dengan mitos yang beredar itu, buah lansep ataupun
buah apa saja yang ada seperti alpukat, durian, jambu, rambutan, dan pisang, tetap
aman dari kejahilan anak-anak meski sudah matang sekalipun. Biarlah mitos itu
tetap bertahan, dan semoga kelak mereka menyadari kebohongan mitos itu dengan
memahami maknanya. Semoga.
Beautiful scenery at Dusun
Lengkong: Wednesday, 3rd April 2013. J
Komentar
Posting Komentar