Mereka yang terlebih dahulu dekat dengan anak-anak. Tiga
orang srikandi dari dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Mbak Mawinda, Mbak
Zuriyah, dan Mbak Helen. Setiba di dusun Lengkong, keberadaan mereka tak
terdeteksi lagi hingga panitia sedikit kebingungan mencari mereka.
Kebebasan ada pada jiwa mereka. Bukan orang yang terbiasa
hidup penuh aturan, runtut, dan kaku. Mereka justru bisa lebih mengeksplor
dusun Lengkong. Ternyata mereka terlebih dahulu mendekatkan diri pada adik-adik
di SD dan di MI. Sederhana sebenarnya, tapi itu cukup membuat adik-adik di sana
begitu terkesan dan sangat terbuka dengan mereka.
Satu hal yang paling saya ingat, kalau karya itu tak akan
pernah mati meski kita sudah mati. Itu hanya sebagian kecil yang terinspirasi
dari Mbak Mawinda. Darinya pula saya belajar bagaimana menyesuaikan diri dengan
masyarakat yang berkultur berbeda, kebiasaan mereka, dan toleransi yang amat
tinggi. Memahami orang lain itu ternyata lebih sukar dan kalau tak bisa
melakukan itu, justru kita sendiri yang akan kesusahan.
Mbak Zuriyah, perempuan dengan tangan terampil. Maklum,
belum lama ini ia lulus dari jurusan kriya seni. Ini kali kedua ia mengikuti pengmas
ILP2MI. Tapi dibalik itu, pengalaman tentang pengabdian masyarakat, kami kalah
jauh. Ia sudah melalang buana sampai ke daerah pelosok, sehingga otomatis ia
sudah mengerti bagaimana cara mengakrabkan diri dengan masyarakat, menyatu
dengan mereka, dan membuat orang nyaman berada di dekatnya. Ketulusan hatinya
untuk berbuat kepada sesama sudah tak diragukan lagi.
Hatinya yang tulus ikhlas membantu ternyata berbuah
manis. Ada hal lain yang membuat saya sangat terkesan dengan satu sosok ini. Di
tengah jalan menuju ke atas, ada coretan kapur dari adik yang bernama Ida, bertuliskan,
“I love you bak Zurih dari Ida”. Selain itu, sebelum pulang dari kegiatan, mbak
Zuri sering mendapat oleh-oleh, misalnya kue tradisional, buah jambu biji,
kopi, dan lain-lain.
Terakhir perempuan cantik bergaya seperti korea bernama
mbak Helen. Sama seperti mbak Mawinda, ia masih semester akhir di ISI
Yogyakarta. Tetapi, ini merupakan pengalaman pengmas yang pertama bagi mbak
Helen. Meskipun ia hanya satu-satunya orang yang beragama nasrani diantara
peserta, ia tetap menjaga toleransi dan amat menghormati ibadah orang lain. Ia
tetap bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semuanya beragama Islam.
Teman-teman ISI mengajarkan untuk berpikir terbuka,
bebas, dan mencintai apa yang dilakukan, sehingga membuat hidup selalu terasa
bahagia meski di tempat yang serba kekurangan sekalipun. Kreativitas, kepekaan,
dan cepat tanggap mereka membuat kami sadar untuk terus memberikan sesuatu yang
berari bagi masyarakat meski sederhana sekalipun.
Best inspiring people this week: Eva Mawinda, Zuriyah, and Helen Masya.
Komentar
Posting Komentar